Rabu, 09 Juni 2010

Hama dan Penyakit Rumput Laut (Eucheuma cottonii)

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rumput laut mempunyai nilai ekonomis penting dan prospek di masa mendatang. Pemanfaatan rumput laut sudah berkembang dari tahun 2700 sebelum masehi oleh orang-orang Cina untuk membuat obat-obatan. Sedangkan pada tahun 1292, ketika orang-orang Eropa pertama kali berlayar di perairan Indonesia, mereka mencatat bahwa penduduk di pesisir pantai telah lama menggunakan alga sebagai sayuran. Namun budidaya rumput laut baru berkembang di daerah Cina, Jepang dan Korea pada abad 20-an (Aslan, 1998).
Salah satu rumput laut yang banyak dibudidayakan, baik di pertambakan maupun di perairan terbuka adalah Eucheuma cottonii. Eucheuma cottonii ini, selain digunakan sebagai bahan agar juga dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan rumput laut, khusunya Eucheuma cottonii, Rumput laut ini banyak dibudidayakan melalui metode dasar, metode lepas dasar dan metode apung (Aslan, 1999). Penggunaan Teknik budidaya rumput laut ini disesuaikan dengan lokasi budidaya (Anggadireja, 2006).
Salah satu metode yang digunakan dalam budidaya rumput laut Eucheuma cottonii yang dilakukan oleh Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) bekerjasama dengan pembudidaya di perairan Pulau Panjang adalah metode longline. Beberapa kendala dijumpai dalam proses budidaya rumput laut di perairan tersebut antara lain hama dan penyakit, gangguan dari aktivitas pelayaran, pencurian dan lain sebagainya (Komunikasi pribadi, Supratno 2009).
Sulistyo (1988) menjelaskan bahwa hama tanaman rumput laut merupakan organisme yang memangsa tanaman rumput laut. Hama dapat menimbulkan kerusakan secara fisik pada tanaman budidaya, seperti; tanaman terkelupas, patah atau habis dimakan sama sekali. Sedangkan penyakit menurut Anggadireja (2006) adalah suatu gejala gangguan fungsi atau terjadinya perubahan fisiologis pada tanaman. Sulistyo (1988) lebih lanjut menjelaskan bahwa penyakit berpengaruh terhadap tingkat produktivitas hasil.
Hama dan penyakit pada budidaya rumput laut Eucheuma cottonii di perairan Pulau Panjang dapat menurunkan produksi hingga 50 %(Anggadireja, 2006). Sedangkan menurut Aslan (1998) bahwa serangan penyakit sering menyebabkan gagal panen pada budidaya rumput laut. Dalam rangka pengembangan budidaya rumput laut di perairan Pualau Panjang maka diperlukan data awal yang berkaitan dengan hama dan penyakit di daerah tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengamatan tentang hama dan penyakit pada budidaya rumput laut Eucheuma cottonii di perairan Pulau Panjang.

1.2. Pendekatan Masalah
Pengembangan budidaya rumput laut yang dilakukan oleh Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara bekerjasama dengan pembudidaya dengan menggunakan metode longline di perairan Pulau Panjang Jepara mengalami pertumbuhan yang kurang baik. Produksi yang cenderung menurun dari siklus produksi pertama (45 hari) ke siklus berikutnya. Penurunan produksi atau pertumbuhan yang kurang optimal ini dapat disebabkan oleh hama dan penyakit rumput laut maupun faktor lainnya. Untuk itu, masalah yang dibahas dalam Praktek Kerja Lapangan ini adalah hama dengan kerusakan yang ditimbulkan dan penyakit dengan gejala klinis yang terjadi pada budidaya rumput laut Eucheuma cottonii di perairan Pulau Panjang.

1.3. Tujuan
Tujuan dari Praktek Kerja Lapangan ini adalah:
1. Mengetahui jenis hama dan penyakit rumput laut Eucheuma cottoni yang dibudidayakan dengan metode longline di perairan Pulau Panjang Jepara.
2. Mengetahui gejala klinis atau kerusakan yang ditimbulkan oleh hama dan penyakit terhadap rumput laut yang dibudidayakan dengan metode longline di perairan Pulau Panjang Jepara.

1.4. Waktu Dan Tempat
Prakek Kerja Lapangan ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan bulan Maret 2009 di perairan Pulau Panjang Jepara. Budidaya Rumput Laut ini merupakan uji coba dari BBPBAP (Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau) Jepara bekerjasama dengan pembudidaya rumput laut setempat.


II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Rumput Laut Eucheuma cottonii
Rumput laut (sea-weed) adalah ganggang berukuran besar atau makro algae. Eucheuma cottoni termasuk dalam ganggang merah. Tumbuhan ini termasuk tanaman tingkat rendah yang digolongkan ke divisi thallophyta (Aslan,1998).
Menurut Anggadireja (2006), klasifikasi rumput laut Eucheuma cottonii adalah:
Filum : Rhodophita
Kelas : Rhodopycae
Ordo : Gigantinales
Famili : Soliericeae
Genus : Eucheuma
Spesies: Eucheuma cottonii
2.2. Morfologi Eucheuma cottonii
Rumput laut mempunyai thallus, tidak mempunyai akar, batang dan daun sejati. Thallus sendiri menggantikan peran ketiga bagian tanaman tersebut. Akan tetapi struktur anatomi thalli untuk jenis Eucheuma cottonii berbeda dengan jenis Eucheuma lainnya (Aslan,1998). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Eucheuma cottonii mempunyai thallus yang tegak lurus, silindris dan tidak sama lebarnya. Thallusnya berbentuk pipih silindris, bercabang tidak teratur (Gambar 1). Warna Eucheuma cottonii bervariasi antara lain hijau, merah dan hijau kemerahan. Warna tersebut ditentukan oleh faktor lingkungan.







Menurut Aslan (1998), Eucheuma cottonii memiliki proses perkembangbiakan secara vegetatif dan generatif. Pada proses perkembangbiakan secara vegetatif, setiap bagian dari rumput laut yang terpotong dapat tumbuh menjadi organisme baru yang sifatnya sama seperti induknya. Perkembangbiakannya bisa dilakukan dengan bantuan manusia yaitu stek. Syarat cabang rumput laut yang bisa untuk stek yaitu thallus yang masih muda, segar, berwarna cerah dan mempunyai percabangan yang banyak, tidak tercampur lumut atau kotoran serta bebas dari penyakit. Sedangkan perkembangbiakan secara generatif adalah perkembangbiakan dengan spora.
Aslan (1998) menambahkan bahwa pada proses perkembangbiakan secara generatif, rumput laut yang diploid(2n) menghasilkan spora yang haploid(n). Spora ini kemudian menjadi 2 jenis rumput laut yaitu jantan (n) dan betina (n) yang tidak mempunyai alat gerak. Selanjutnya dijelaskan bahwa rumput laut jantan akan menghasilkan sperma dan rumput laut betina akan menghasilkan sel telur. Apabila kondisi lingkungan memenuhi syarat, maka akan terbentuk zigot dari perkawinan tersebut. Zigot ini yang akan tumbuh menjadi tanaman rumput laut.
Menurut Afrianto dan Liviawati (1993), rumput laut memiliki ketahanan terhadap lingkungan tertentu. Akan tetapi pertumbuhan maupun keberhasilan budidaya rumput laut tidak mungkin lepas dari faktor lingkungan (Aslan,1998). Untuk itu dalam menunjang keberhasilan budidaya rumput laut Eucheuma cottonii faktor lingkungan (fisika, biologi dan kimiawi) harus diperhatikan (Afrianto dan Liviawati, 1993).

2.3. Metode Budidaya
Ada tiga metode yang sudah dikenal masyarakat serta dikembangkan secara luas, yaitu metode lepas dasar, rakit apung dan rawai. Pemilihan metode tersebut tergantung pada kondisi geografis lokasi (Anggadiredja, 2006).
2.3.1. Metode Lepas Dasar
Metode ini pada umumnya dilakukan pada lokasi yang memiliki substrat dasar karang berpasir atau pasir dengan pecahan karang dan terlindung dari hempasan gelombang. Metode lepas dasar biasanya dilakukan pada perairan yang tidak berlumpur dan berarus cukup baik. Selain itu, lokasi untuk metode ini harus memiliki kedalaman sekitar 0,5 m pada saat surut terendah dan 3 m pada saat pasang tertinggi (Anggadiredja, 2006).
2.3.2. Metode Rakit Apung
Metode rakit apung merupakan budidaya rumput laut Eucheuma sp. dengan cara mengikatkan rumput laut pada tali ris yang diikatkan pada rakit apung yang terbuat dari bambu. Keuntungan dari metode ini adalah bisa diterapkan di perairan yang dalam dan tanaman lebih banyak menerima intensitas matahari. Sedangkan kelemahannya adalah biaya konstruksi yang tinggi dan mudah terkena sengatan matahari atau air hujan ketika tanaman muncul ke permukaan air (Anggadiredja, 2006).
2.3.3. Metode Rawai (Longline)
Metode rawai merupakan cara yang paling banyak diminati petani rumput laut karena disamping fleksibel dalam pemilihan lokasi, juga biaya yang dikeluarkan relatif murah (Anggadiredja, 2006).
Keuntungan dari metode ini adalah tanaman terbebas dari hama bulu babi, pertumbuhannya lebih cepat dan lebih murah ongkos materialnya. Saat ini hampir di semua perairan Indonesia cocok untuk budidaya menggunakan metode rawai sebagai alternatif untuk budidaya Eucheuma cottonii (Afrianto, 1993).

2.4. Hama Dan Penyakit Rumput Laut Eucheuma cottonii
2.4.1. Hama
Hama rumput laut umumnya adalah organisme laut yang memangsa rumput laut sehingga akan menimbulkan kerusakan fisik terhadap thallus, dimana thallus akan mudah terkelupas, patah ataupun habis dimakan hama (Sulistiyo, 1988). Menurut Anggadireja (2006), Hama dibedakan berdasarkan ukurannya yaitu hama mikro (micro grazer) dan hama makro (macro grazer).
2.4.1.1. Hama mikro
Hama mikro yang menyerang rumput laut, berukuran panjang kurang dari 2 cm dan melekat pada thallus. Menurut Doty (1987), hama mikro yang sering ditemukan pada rumput laut adalah larva bulu babi (Tripneustus) dan larva teripang (Holothuria sp). Selanjutnya dijelaskan bahwa larva bulu babi (Tripneustes sp.) bersifat planktonik, melayang-layang di dalam air dan kemudian menempel pada tanaman rumput laut, sehingga larva bulu babi menyebabkan tanaman Eucheuma sp berwarna kuning dan rusak. Sedangkan larva teripang (Holothuria sp.) yang menempel dan menetap pada thallus rumput laut, kemudian tumbuh menjadi besar. Larva yang sudah besar akan menjadi hama makro dan dapat memakan thallus rumput laut secara langsung dengan cara menyisipkan ujung-ujung cabang rumput laut kedalam mulutnya (Anggadireja, 2006).
2.4.1.2. Hama makro
Menurut Anggadireja (2006), tanaman yang biasanya diserang hama makro adalah tanaman yang berada dekat perairan dengan dasar karang atau karang berpasir sekitar pantai. Serangan ikan akan berkurang bila rumput laut yang ditanam pada lokasi agak ke tengah.
Hama makro adalah hama yang berukuran lebih besar dari ukuran 2 cm. Hama makro yang paling ganas dan dapat menghancurkan tanaman Eucheuma sp yaitu ikan beronang (Siganus javus), penyu hijau (Chelonia mydas), teripang (Holothuria sp) dan bintang laut (Protoneostes).
1. Penyu Hijau
Menurut Linnaeus (1758), penyu hijau termasuk dalam kingdom animalia, divisi chordata, kelas reptilia , ordo testudines, family cheloniidae, genus Chelonia dan spesies Chelonia mydas.
Penyu hijau memiliki kaki yang berbentuk seperti flippers (tungkai dayung). Mereka termasuk bangsa reptil dengan kepala seperti kadal, Biota ini juga berparuh bengkok dan mempunyai rahang yang tak bergigi. Penyu hijau dewasa tumbuh hingga panjangnya 99 cm dan berat 180 kg. Penyu hijau adalah hewan pemakan tumbuhan yang sesekali memangsa beberapa hewan kecil (Hirth, 1997). Penyu sering dilaporkan sebagai salah satu hama pada budidaya rumput laut yang sangat merugikan (Anggadireja, 2006).
2. Ikan Beronang
Ikan beronang dikenal oleh masyarakat dengan nama kea-kea (Pulau Seribu), di Jawa Tengah dengan nama biawas dan nelayan-nelayan di Pulau Maluku menamakan dengan sebutan samadar. Menurut Saanin (1986), ikan beronang termasuk dalam kingdom animalia, filum chordata, kelas pisces, ordo perciformes, sub ordo acanthuroidei, famili siganidae, genus Siganus dan spesies Siganus javus. Oleh karena itu ikan beronang termasuk famili Siginidae dengan tanda-tanda khusus sebagai berikut D XIII, 10 A VII, 9, P2 I, 3, 1, tubuhnya membujur dan memipih lateral, dilindungi oleh sisik-sisik yang kecil, mulut kecil posisinya terminal. Rahangnya dilengkapi dengan gigi-gigi kecil. Punggungnya dilengkapi oleh sebuah duri yang tajam mengarah ke depan antara neural pertama dan biasanya tertanam di bawah kulit. Duri-duri ini dilengkapi dengan kelenjar bisa/racun pada ujungnya (Saanin, 1986).
Ikan ini termasuk ke dalam jenis "primary herbivor" yaitu pemakan plankton nabati tumbuhan. Sesuai dengan morfologi dari gigi dan saluran pencernaannya yaitu mulutnya kecil, mempunyai gigi seri pada masing-masing rahang, gigi geraham berkembang sempurna, dinding lambung agak tebal, usus halusnya panjang dan mempunyai permukaan yang luas, ikan beronang termasuk pemakan tumbuh-tumbuhan (Wikipedia, 2005). Anggadireja (2006) menyatakan bahwa ikan beronang merupakan hama rumput laut Eucheuma cottonii.


3. Teritip
Menurut Wikipedia Indonesia dari burneister (1834), teritip termasuk ke dalam kingdom animalia, filum arthropoda, subfilum krustasia, kelas maxillopoda, sub kelas thecostraca, infrakelas cirripedia dan genus Ballanus.
Teritip biasanya melekat pada batu, badan kapal, malah pada badan paus. Teritip mampu bertahan sekiranya ia terdedah kepada udara semasa air surut. Ketika itu, ia akan menutup cangkerangnya untuk mengekalkan kelembapan badannya. Teritip juga menempel pada biota yang digunakan untuk tempat perkembang biakannya seperti rumput laut (Wikipedia, 2005).
2.4.2. Penyakit “Ice-Ice”
Menurut Sulistyo (1988), penyakit ice-ice pada rumput laut terjadi di daerah-daerah dengan kecerahan tinggi. Gejala yang sering timbul pada rumput laut yang terserang adalah adanya bintik-bintik/bercak-bercak pada sebagian thallus, namun lama kelamaan akan menyebabkan kehilangan warna sampai menjadi putih dan mudah terputus (lembek). Gejala ini dapat terlihat pada Gambar 2. Penyakit ini menyerang Eucheuma sp. terutama disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan (arus, suhu, kecerahan, dll.) di lokasi budidaya.





Gambar 2. Gejala ice-ice (Sumber: blogspot.com)
Sulistyo (1988) menjelaskan bahwa perubahan lingkungan budidaya akan berbahaya bila berjalan terus menerus dalam waktu yang cukup lama. Perubahan lingkungan akan diikuti penurunan kualitas air dan nutrient yang ada. Pada akhirnya rumput laut akan terhambat pertumbuhannya. Kondisi ini akan lebih parah bila terjadi polusi atau kotoran yang menempel pada thallus sehingga timbul bercak putih. Kondisi seperti inilah yang sering ditakutkan oleh pembudidaya rumput laut karena bisa menyebabkan gagal panen.


2.5. Faktor Lingkungan
Menurut Anggadireja (2006) faktor lingkungan untuk budidaya Eucheuma cottonii terdiri dari beberapa aspek dari parameter kualitas air. Parameter kualitas air yang sesuai untuk budidaya Eucheuma cottonii menurut Anggadireja (2006) dapat terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kualitas air untuk budidaya Eucheuma cottonii (Anggadireja, 2006)
No. Parameter Satuan Kisaran
1.
2.
3.
4. Suhu
Salinitas
Arus
Kecerahan 0C

m/detik
m 26-30
28-33
0,2-0,4
2-5

a. Faktor Fisika
Faktor fisika yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii antara lain kedalaman perairan kurang lebih 5-20 meter. Faktor kedalaman ini mempengaruhi kandungan nutrient, sinar matahari dan biota yang hidup di sekitar rumput laut. Biota berkaitan dengan hubungan mangsa dan dimangsa, seperti halnya teripang, bulu babi dan ikan baronang yang hidup hingga kedalaman 5 meter maka akan menjadi predator rumput laut (Anggadireja, 2006).
Kecerahan yang bagus untuk kehidupan rumput laut yaitu 3-6 meter dari permukaan. Substrat dasar perairan yang sesuai adalah tidak terlalu keras terdiri dari pasir dan pecahan karang dan bebas endapan kotoran agar tidak timbul bibit penyebab penyakit (Afrianto dan Liviawati, 1993).
Arus atau pergerakan air juga sangat penting untuk pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii. Arus ini akan membawa zat-zat makanan pada permukaan tubuhnya. Kecepatan arus yang baik dan ideal untuk pertumbuhan rumput laut adalah sekitar 0,2-0,4 m per detik. Akan tetapi arus juga dapat membawa sumber penyakit berbahaya bagi rumput laut (Hidayat,1994).
b. Faktor Biologis
Lokasi yang sesuai untuk rumput laut Eucheuma cottonii adalah perairan yang subur. Lokasi yang dihuni hewan maupun ikan pemangsa akan merugikan pengelolaan budidaya. Pemangsa seperti ikan herbivora, penyu hijau dan bulu babi akan merusak tanaman rumput laut yang dibudidayakan (Hidayat,1994).
c. Faktor Kimiawi
Faktor kimia juga mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Salinitas yang ideal untuk pertumbuhan rumput laut adalah 28–34 ‰. Salinitas yang tinggi akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan daya tahan terhadap penyakit. Sedangkan pada salinitas yang rendah, rumput laut Eucheuma cottonii akan cenderung mudah terkena penyakit (Angggadireja, 2006).
Suhu air juga tidak kalah pentingnya untuk pertumbuhan rumput laut. Suhu yang ideal untuk rumput laut adalah 23-260C. Suhu yang labil atau dengan kata lain fluktuasi perubahan suhu yang tinggi akan menyebabkan rumput laut mudah terkena penyakit (Angggadireja, 2006).
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi
Materi yang digunakan pada Praktek Kerja Lapangan ini adalah Rumput laut jenis Eucheuma cottonii yang dibudidayakan dengan metode longline di perairan Pulau Panjang (Gambar 3 dan 4).
















3.1.1. Alat
Alat yang digunakan pada Praktek Kerja Lapangan ini disajikan pada tabel 1.
Tabel 2. Alat yang digunakan Pada Praktek Kerja Lapangan
No. Alat dan Bahan Ketelitian Kegunaan
1. Tali ris วพ 0,6 cm 1 m Tempat mengikatkan rumput laut
2. Tali rafia 1 m Mengikat rumput laut
3. Botol aqua 1,5 liter - Mengapungkan tali
4. Bambu - Mengikatkan tali ris
5. Termometer 10C Mengukur suhu perairan
6. Refraktometer 1‰ Mengukur salinitas perairan
7. pH meter - Mengukur derajat keasaman
8. Pelampung - Keselamatan saat pengamatan
9. Perahu - Kendaraan menuju lokasi
10. Sarung tangan - Melindungi tangan
11. Pisau / Gunting - Memotong sampah yang melilit rumput laut
12. Kamera digital - Mengambil gambar

Peralatan yang digunakan dam Praktek Kerja Lapangan ini dapat terlihat pada Gambar 5; 6; 7; 8 dan 9.








3.2. Metode
Metode yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapangan (PKL) adalah metode survey. Metode survey adalah pengamatan terhadap gangguan hama dan gejala penyakit yang timbul pada rumput laut di lokasi budidaya. Metode pengumpulan data menggunakan sistem random sampling. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder.
3.2.1. Prosedur pelaksanaan pengamatan
Prosedur pelaksanaan pengamatan terhadap hama dan penyakit rumput laut yang dibudidayakan di perairan Pulau Panjang adalah sebagai berikut:
1. Mengukur kualitas air.
2. Berenang mengitari lokasi budidaya untuk mengontrol ada tidaknya hama.
3. Membersihkan rumput laut dari kotoran yang menempel.
4. Mengambil dan menghitung sampel hama rumput laut yang ditemukan.
5. Memotong rumput laut yang terserang hama dan penyakit.
6. Mengambil rumput laut yang terserang dan menganalisa kerusakan yang ditimbulkan oleh hama.
7. Menganalisa gejala klinis pada rumput laut yang terserang penyakit.
3.2.2. Data primer
Data primer merupakan data yang diambil melalui pengamatan secara langsung di lapangan yakni pengamatan terhadap hama dan penyakit yang mengganggu. Selain itu data ini berasal dari hasil wawancara dengan petugas teknis dari BBPBAP Jepara serta pembudidayanya.
3.2.3. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diambil dari telaah pustaka dan instansi/dinas terkait. Data tersebut dianalisa menggunakan analisa deskriptif.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1. Jenis, jumlah hama yang menyerang dan bagian yang mengalami kerusakan pada rumput laut (Eucheuma cottoni)

Hama yang ditemukan pada budidaya rumput laut E.cottoni di perairan pulau panjang adalah penyu hijau (Chelonia mydas) (Gambar 10), ikan beronang (Siganus javus) (Gambar 11), dan teritip (Ballanus sp.) (Gambar 12).















Keterangan : 1. Thallus yang ditempeli
2. Teritip (Ballanus sp.)

Penyu hijau memiliki tubuh oval dengan paruh di bagian depan mulutnya. Paruh ini yang berfungsi sebagai gigi atau pisau untuk memotong makanannya (Gambar 10). Hasil pengamatan dalam PKL ini memperlihatkan bahwa rumput laut yang dimakan oleh penyu hijau mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: thallus seperti terpotong pisau; thallus yang tersisa adalah bonggol atau thallus utama; thallus bekas paruh kadang menjadi lembek bahkan busuk(Tabel 2).
Penyu hijau memakan langsung pada percabangan thallus yang baru tumbuh. Penyu hijau hanya makan pada bagian percabangan thallus saja karena penyu menyukai thallus yang muda. Sehingga yang tersisa hanya thallus atau bonggol utama yang paling tua (Gambar 13).






Ikan beronang memiliki tubuh yang membujur dan memipih lateral, dilindungi oleh sisik-sisik yang kecil, mulut kecil posisinya terminal. Rahangnya dilengkapi dengan gigi-gigi kecil. Punggungnya dilengkapi oleh sebuah duri yang tajam mengarah ke depan antara neural pertama dan biasanya tertanam di bawah kulit (Gambar 11). Ikan beronang memakan ujung-ujung thallus Eucheuma cottonii.
Tanda pada rumput laut yang termakan ikan beronang adalah terdapat bekas potongan kecil pada ujung thallus, tidak semua thallus termakan habis dan rumput laut tidak mengalami pembusukan (Gambar 14; Tabel 2).





Keterangan : 1. Thallus yang dimakan ikan beronang.
2. Thallus yang tidak dimakan ikan beronang.

Pada PKL ini teritip menempel pada thallus eucheuma cottonii. Ukuran yang lebih besar menempel pada thallus yang tua sedangkan tertitip ukuran kecil menempel pada thallus muda. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penempelan teritip biasanya diikuti dengan tumbuhnya lumut di sekitar thallus yang ditempeli. Sedangkan kerusakan yang timbul adalah thallus yang ditempeli lama kelamaan akan berwarna putih (Gambar 12; Tabel 3).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis, jumlah hama dan gejala klinis / kerusakan yang muncul pada budidaya Eucheuma cottonii tersaji pada Tabel 2.

Tabel 3. Jenis, jumlah hama dan kerusakan pada E.cottonii yang dibudidayakan di perairan Pulau Panjang
No. Jenis Gangguan Jumlah Kerusakan/Gejala yang ditimbulkan Terdeteksi minggu ke-
1. Penyu Hijau 1 ekor dalam 1 lokasi 1. Thallus seperti terpotong pisau.
2. Thallus yang tersisa adalah bonggol atau thallus utama.
3. Thallus bekas paruh kadang menjadi lembek bahkan busuk. 2
2. Ikan Beronang + 30 ekor dalam 1 lokasi 1. Terdapat bekas potongan kecil pada ujung thallus.
2. Tidak semua thallus termakan habis.
3. Rumput laut tidak mengalami pembusukan 1
3. Teritip + 2 ekor dalam 1 rumput laut 1. Timbul lumut di sekitar thallus yang ditempeli teritip
2. Thallus yang ditempeli semakin lama menjadi putih dan membusuk 1

Tabel 2 menunjukkan bahwa hama yang ditemukan adalah penyu hijau (1 ekor), ikan beronang (+ 30 ekor) dan teritip (+ 2 ekor). Tanda yang ditinggalkan akibat gangguan hama adalah terdapat bekas potongan pada percabangan dan ujung thallusnya serta adanya pembusukan akibat potongan tersebut. Sedangkan kerusakan yang disebabkan akibat penempelan teritip adalah timbulnya lumut di sekitar thallus.


4.1.2. Penyakit ice-ice

Penyakit yang ditemukan pada budidaya rumput laut E.cottonii dengan metode budidaya longline adalah ice-ice. Gejala klinis rumput laut E.cottonii yang terserang penyakit ice-ice adalah : Terdapat bercak putih pada thallus; thallus yang lembek bila dipegang mudah putus (Gambar 15).
Gejala klinis dari penyakit ice-ice mulai terlihat pada minggu ke-3 setelah penanaman rumput laut Eucheuma cottonii dilakukan.






Keterangan : 1. Thallus yang normal
2. Thallus yang terkena penyakit (bercak putih)
Prevalensi rumput laut yang berpenyakit dari jumlah total rumput laut yang dibudidayakan dapat dihitung dengan cara berikut.
Bobot rumput laut yang berpenyakit .
Bobot total rumput laut yang di panen

100 kg.
5000 kg
2 %




4.1.3. Kualitas air
Pengamatan yang dilakukan terhadap beberapa parameter kualitas perairan pulau panjang mendapatkan hasil yang tersaji pada Tabel 3.
Tabel 4. Pengukuran kualitas air di perairan pulau panjang
No. Parameter Satuan Kisaran
1.
2.
3.
4. Suhu
Salinitas
Arus
Kecerahan 0C

cm/detik
m 22-26
21-28
20-45
1,4-2


4.2. Pembahasan
4.2.1. Jenis, jumlah hama yang menyerang dan bagian yang mengalami kerusakan pada rumput laut (Eucheuma cottoni)

Penyu mempunyai paruh bawah yang bergerigi dan tajam. Paruh ini yang digunakan untuk memotong thallus rumput laut. Gangguan dari penyu hijau tidak jarang ditemukan pada budidaya rumput laut E.cottoni. Hal ini sesuai dengan Anggadireja (2006), hama makro yang paling ganas dan dapat menghabiskan tanaman Eucheuma sp yaitu penyu hijau (Chelonia mydas).
Pada Praktek Kerja Lapangan ini ditemukan tanda serangan penyu hijau pada minggu ke-2. Walaupun rumput laut tidak seluruhnya habis, dari ketiga longline yang dipakai, 2 longline yang diserang penyu hijau. Akibat serangan dari biota ini yaitu banyak rumput laut yang habis dan tidak bisa dipanen. Penyu hijau hanya makan pada bagian percabangan thallus saja karena penyu menyukai thallus yang muda. Sehingga yang tersisa hanya thallus atau bonggol utama yang paling tua. Cabang thallus yang terpotong akibat penyu akan sulit untuk terubus atau tumbuh cabang muda baru lagi. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan dari rmput laut menjadi lambat.
Biota yang mengganggu selain penyu adalah ikan beronang (siganus sp). Ikan spesies ini mempunyai kebiasaan makan bergerombol. Tanda serangan ikan beronang ditemukan sejak awal minggu. Menurut hasil wawancara dengan pembudidaya, hal ini disebabkan oleh lokasi budidaya yang merupakan tempat penyebaran ikan beronang.
Ikan beronang tidak memakan seluruh thallus. Thallus yang dimakan hanya percabangan yang paling muda. Biota ini menjadi salah satu pengganggu pada budidaya rumput laut karena sifat makannya yang bergerombol dan mencari tumbuhan hijau. Hal ini sesuai dengan Anggadireja (2006) bahwa hewan pengganggu berukuran lebih dari 2 cm merupakan hama makro dan hama yang sering mengganggu budidaya Eucheuma sp adalah ikan beronang (Siganus sp).
Ikan beronang mempunyai mulut yang kecil. Biota ini juga tidak memakan rumput laut sebagai makanan utama. Sehingga rumput laut yang dimakan hanya cabang thallus yang baru trubus atau yang muda saja. Berbeda dengan thallus yang dimakan penyu, ujung thallus yang termakan akan mudah tumbuh lagi. Kerugian yang ditimbulkan oleh serangan ikan beronang lebih ringan dibandingkan dengan penyu hijau.
Ballanus sp merupakan bukan hama predator rumput laut, namun merupakan crustacea penempel. Ballanus sp tidak sering dijumpai pada budidaya rumput laut. Biota ini menempel karena faktor lingkungan yang sesuai untuk perkembangannya. Penempelan larva dari teritip ini diduga karena larva ini terbawa arus atau gelombang hingga menempel pada thallus rumput laut. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa hewan ini ditemukan sedikitnya 2 ekor yang menempel pada tiap rumput laut yang ditanam. Biota ini merupakan hama sesuai Anggadireja (2006) bahwa hama yang berukuran lebih dari 2 cm merupakan hama makro.
Akibat yang timbul karena penempelan teritip pada thallus akan berwarna putih dan bisa menyebabkan lembek. Sehingga thallus yang lembek ini akan busuk dan mudah patah. Pembersihan terhadap rumput laut menjadi terganggu karena adanya biota ini. Pada saat panen thallus yang ditempeli teritip pun akan sulit dibersihkan dan bisa menurunkan kualitas rumput laut. Hal ini akan berdampak pada harga jual rumput laut itu sendiri.
4.2.2. Penyakit ice-ice
Penyakit yang ditemukan pada budidaya rumput laut di perairan pulau panjang yaitu ice-ice. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, ice-ice tidak menyerang seluruh rumput laut yang dibudidayakan. Perhitungan prevalensi menunjukkan bahwa 2% rumput laut yang terserang penyakit ice-ice dari total selurh rumput laut yang ditanam. Tanaman rumput laut (E.cottonii) yang terserang ice-ice terlihat menjadi berwarna putih pada thallusnya. Kemudian thallus yang berwarna putih lama kelamaaan menjadi lembek dan akhirnya putus. Anggadireja (2006) menjelaskan pula bahwa penyakit ini ditandai dengan adanya bercak putih pada sebagian thallus. Bercak ini yang lama kelamaan menyebabkan thallus kehilangan warna sampai menjadi putih, dan akhirnya mudah putus (rontok).
Penyakit ini diduga berkaitan dengan adanya perubahan kondisi yang cukup lama dan tidak sesuai untuk pertumbuhan rumput laut. Pada PKL ini, kondisi tersebut berkaitan dengan curah hujan tinggi yang berlangsung selama bulan februari hingga maret. Hasil pengukuran parameter kualitas air menunjukkan bahwa terjadi penurunan suhu hingga 22°C yang tidak sesuai dengan kondisi optimal menurut Anggadireja (2006) bahwa suhu yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut berkisar antara 23°-26°C. Pengukuran salinitas juga menunjukkan penurunan mencapai 21‰. Padahal menurut Anggadireja (2006) menerangkan bahwa salinitas yang tinggi akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan daya tahan terhadap penyakit. Sehingga pada salinitas rendah akan menyebabkan rumput laut mudah terkena penyakit. Beberapa parameter tersebut sesuai dengan penjelasan menurut Sulistyo (1988) bahwa penyakit ice-ice menyerang Eucheuma sp. terutama disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan (arus, suhu, kecerahan, dll.) di lokasi budidaya dan berjalan dalam waktu yang cukup lama.
Menurut Sulistyo (1988), cara pencegahan dari penyakit ini adalah dengan memonitor adanya perubahan-perubahan lingkungan, terutama pada saat terjadinya perubahan lingkungan. Di samping itu dilakukan penurunan posisi tanaman lebih dalam untuk mengurangi penetrasi cahaya sinar matahari.
4.2.3. Kualitas air
Parameter kualitas air diukur mulai minggu ke-2 sampai minggu ke-5. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ada penurunan kualitas air. Pengukuran suhu menunjukkan kisaran antara 22-26 0C. Kondisi ini tidak sesuai dengan pernyataan Aslan (1998) bahwa suhu yang optimum untuk budidaya rumput laut adalah 27-300C. Salinitas sesuai pengamatan menunjukkan kisaran antara 21-28 ‰ yang menyebabkan rumput laut tidak dapat tumbuh secara optimum. Hal ini sesuai dengan Aslan (1998) bahwa rumput laut dapat tumbuh secara optimal pada salinitas 30-37 ‰. Kecepatan arus di perairan pulau panjang adalah 20-45 cm/detik. Sedangkan kecerahan sesuai pengukuran menunjukkan kisaran 140-200 cm. Kedalaman menurut hasil wawancara adalah 6-7 m.


V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari PKL ini adalah sebagai berikut:
1. Hama yang ditemukan pada budidaya rumput laut Eucheuma cottonii di perairan Pulau Panjang Jepara adalah penyu hijau (Chelonia mydas), ikan beronang (Siganus javus), teritip (Ballanus sp.), Sedangkan penyakit yang menyerang adalah ice-ice.
2. Gejala klinis rumput laut Eucheuma cottonii yang diserang penyu hijau adalah: thallus yang terpotong seperti bekas potongan pisau, thallus yang tersisa hanya thallus yang tua ; ikan beronang (hanya ujung thallus yang termakan, percabangan, thallus tidak seluruhnya habis) dan teritip (tumbuh lumut di sekitar thallus yang ditempeli dan lama kelamaan thallus yang ditempeli akan berwarna putih) serta timbulnya bercak/bintik putih pada thallus (panyakit ice-ice).
5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan setelah melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) adalah sebagai berikut:
1. Perlu diadakan modifikasi metode budidaya untuk mencegah serangan hama.
2. Sebaiknya budidaya rumput laut memperhatikan iklim atau musim yang berlangsung untuk menghindari penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E dan Liviawati, E. 1993. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya. Bharata. Jakarta.

Anggadiredja, J.T., A. Zatnika, Heri Purwoto, Sri Istini. 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.

Aslan, Laode M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta.

Burneister. 1834. Teritip (Ballanus sp). Dalam : Wikipedia. Google. Access: 17 Maret 2009.

Doty, MS. 1987 Production and The Use of Eucheuma dalam Teknologi Budidaya Rumput Laut (Kappapicus alpharezii) hal.31-36.

Hidayat, A. 1994. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya.

Hirth, HF. 1997. Sinopsis dari biologi data pada penyu hijau Chelonia mydas (Linnaeus 1758) dalam Green Sea Turtle. Fish and Wildlife Service Biological. Google.

Indriani, H. 2004. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.

Kohlmeyer, J. 1972. Fungi From Sargasso Sea dalam dalam Teknologi Budidaya Rumput Laut (Kappapicus alpharezii) hal.34-35.

Saanin,1986. Kunci Identifikasi dan Taksonomi Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta

Sulistyo. 1988. Hama, Penyakit dan Tanaman Pengganggu Pada Budidaya Rumput Laut Eucheuma. Puslitbang Oceanologi, LIPI. Dalam : Teknologi Budidaya Rumput Laut (Kappaphicus alvarezii).

Wikipedia. 2005. Ikan Beronang (Siganus sp). Google. Access: 11 April 2009.